Zaman Neolitikum biasa dikenal
dengan sebutan Zaman Batu Muda. Zaman batu muda diperkirakan berlangsung
kira-kira tahun 2000 SM. Di Indonesia, zaman Neolitikum dimulai sekitar 1.500
SM. Perkembangan kebudayaan pada zaman ini sudah sangat maju. Dalam zaman ini,
alat yang dihasilkan sudah bagus. Meskipun masih terbuat dari batu, tetapi pada
semua bagiannya telah dihaluskan dan persebarannya telah merata di seluruh
Indonesia. Menurut Dr. R. Soekmono, Kebudayaan ini lah yang menjadi dasar kebudayaan
Indonesia sekarang. Boleh dikatakan bahwa neolithikum itu adalah suatu revolusi
yang sangat besar dalam peradaban manusia. Perubahan besar ini ditandai dengan
berubahnya peradaban penghidupan food-gathering
menjadi food-producing. Manusia yang hidup pada zaman ini adalah bangsa
Proto Melayu. Seperti suku Nias, suku Toraja, suku Sasak dan Suku Dayak
Cara hidup untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya mengalami perubahan pesat dari cara food gathering menjadi
food producting, yaitu dengan cara bercocok tanam dan memelihara ternak. Pada
masa itu, manusia sudah mulai menetap di rumah panggung untuk menghindari
bahaya binatang buas serta mulai membuat lumbung – lumbung guna menyimpan padi
dan gabah. Tradisi seperti ini masih ditemukan di Badui, Banten. Masyarakat
Baduy di sana begitu menghargai padi yang dianggap pemberian Nyai Sri Pohaci.
Mereka tak perlu membeli beras dari pihak luar karena menjualbelikan padi
dilarang secara hukum adat. Mereka rupanya telah mempraktikkan swasembada
pangan sejak zaman nenek moyang.
Peralatan
mereka terbuat dari batu yang sudah diasah sempurna, dalam bentuk kapak-kapak
persegi yang telah diberi hiasan yang indah sesuai dengan perkembangan seni
pada waktu itu. Namun, bukan berarti semua peralatan mereka berbentuk
kapak. Alat-alat lain juga ada dalam berbagai macambentuk dan jenis, besar
maupun kecil, untuk memenuhi macam-macam keperluan. Semua alat-alat itu
digunakan dengan tangkai, seperti kapak, tombak.
Para ahli menganggap telah
terjadi suatu revolusi dalam kehidupan manusia. Revolusi yang dimaksud
adalah terjadinya perubahan sifat kehidupan dari mengumpulkan makanan dan
mengandalkan seluruh kebutuhan hidupnya pada apa yang telah tersedia di
hutan (food gathering) ke usaha mengolah dan menghasilkan sendiri
seluruh kebutuhan hidupnya (food producing).
Zaman neolitikum (zaman batu baru) kehidupan masyarakatnya
semakin maju. Manusia tidak hanya sudah hidup secara menetap tetapi juga telah
bercocok tanam. Masa ini penting dalam sejarah perkembangan masyarakat dan
peradaban karena pada masa ini beberapa penemuan baru berupa penguasaan
sumber-sumber alam bertambah cepat. Berbagai macam tumbuh-tumbuhan dan hewan
mulai dipelihara dan dijinakkan. Hutan belukar mulai dikembangkan, untuk
membuat ladang-ladang. Dalam kehidupan bercocok tanam ini, manusia sudah
menguasai lingkungan alam beserta isinya.
Masyarakat pada masa bercocok tanam ini hidup menetap dalam
suatu perkampungan yang dibangun secara tidak beraturan. Pada awalnya rumah
mereka masih kecil-kecil berbentuk kebulat-bulatan dengan atap yang dibuat dari
daun-daunan. Rumah ini diduga merupakan corak rumah paling tua di Indonesia
yang sampai sekarang masih dapat ditemukan di Timor, Kalimantan Barat, Nikobar,
dan Andaman. Kemudian barulah dibangun bentuk-bentuk yang lebih besar dengan
menggunakan tiang. Rumah ini berbentuk persegi panjang dan dapat menampung
beberapa keluarga inti. Rumah-rumah tersebut mungkin dibangun berdekatan dengan
ladang-ladang mereka atau agak jauh dari ladang. Rumah yang dibangun bertiang
itu dalam rangka menghindari bahaya dari banjir dan binatang buas.
Oleh karena mereka sudah hidup menetap dalam suatu
perkampungan maka tentunya dalam kegiatan membangun rumah mereka melaksanakan
secara bergotong-royong. Gotong-royong tidak hanya dilakukan dalam membangun rumah,
tetapi juga dalam menebang hutan, membakar semak belukar, menabur benih,
memetik hasil tanaman, membuat gerabah, berburu, dan menangkap ikan.
Masyarakat bercocok tanam ini memiliki ciri yang khas. Salah
satunya ialah sikap terhadap alam kehidupan sudah mati. Kepercayaan bahwa roh
seseorang tidak lenyap pada saat orang meninggal sangat mempengaruhi kehidupan
mereka. Upacara yang paling menyolok adalah upacara pada waktu penguburan
terutama bagi mereka yang dianggap terkemuka oleh masyarakat. Biasanya yang
meninggal dibekali bermacam-macam barang keperluan sehari-hari seperti
perhiasan, periuk, dan lain-lain agar perjalanan si mati ke alam arwah terjalin
keselamatannya.
Jasad seseorang yang telah mati dan mempunyai pengaruh kuat
biasanya diabadikan dengan mendirikan bangunan batu besar. Jadi, bangunan itu
menjadi medium penghormatan, tempat singgah, dan lambang si mati.
Bangunan-bangunan yang dibuat dengan menggunakan batu-batu besar itu pada
akhirnya melahirkan kebudayaan yang dinamakan megalitikum (batu besar).
A.
Lingkungan alam
kehidupan
Kemampuan
berpikir manusia untuk mempertahankan kehidupannya mulai berkembang. Hal ini
mengakibatkan munculnya kelompok-kelompok manusia dalam jumlah yang lebih
banyak serta menentap di suatu tempat dan tinggal bersama dalam kampung. Berarti pembentukan
suatu masyarakat yang memerlukan segala peraturan kerja sama. Pembagian kerja
memungkinkan perkembangan berbagai macam dan cara penghidupan di dalam ikatan
kerjasama itu.. Munculnya bentuk kehidupan semacam itu berawal dari
upaya manusia untuk menyiapkan persediaan bahan makanan yang cukup dalam satu
masa tertentu dan tidak perlu mengembara lagi untuk mencari makanan. Dalam
kehidupan menetap manusia mulai hidup dari hasil bercocok tanam dengan menanam
jenis-jenis tanaman yang semula tumbuh liar untuk dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya. Disamping itu, mereka mulai menjinakkan hewan-hewan yang dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya seperti kuda, anjing, kerbau, sapi, dan babi. Dari
pola kehidupan bercocok tanam ini, manusia sudah dapat menguasai alam
lingkungannya beserta isinya.
Kehidupan
bercocok tanam yang pertama kali dikenal oleh manusia adalah berhuma. Berhuma adalah teknik bercocok tanam
dengan cara membersihkan hutan dan menanamnya, setelah tahan tidak subur mereka
pindah dan mencari bagian hutan yang lain. Kemudian mereka menggulang pekerjaan
membuka hutan, demikian seterusnya. Namun dalam penetapan dalam waktu yang
cukup lama. Bahkan hal ini dapat berlangsung dari generasi ke generasi
berikutnya. Oleh karena itu, manusia mulai menerapkan kehidupan bercocok tanam
pada tanah-tanah persawahan.
Pada zaman ini mulai dikembangkan
teknik mengawetkan makanan agar dapat disimpan lebih lama. Pada zaman ini
makanan dikeringkan agar bisa dimakan walaupun telah disimpan lebih lama. Pada
zaman ini juga diperkirakan bahwa kayu-kayu sudah dihias dengan cara diukir.
B.
Kehidupan sosial
Kehidupan
masyarakat pada masa bercocok tanam mengalami peningkatan yang cukup pesat.
Masayarakatnya sudah memiliki tempat tinggal yang tepat. Mereka memilih tempat tinggal pada
suatu tempat tertentu. Hal ini dimaksudkan agar hubungan antara manusia di
dalam kelompok masyarakatnya semakin erat.
Eratnya
hubungan antaramanusia di dalam kelompok masyarakatnya, merupakan suatu cermin
bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa anggota kelompok masyarakat yang
lainnya. Hal ini disebabkan karena manusia adalah makhluk sosial. Manusia
selalu tergantung dengan manusia lainnya, sehingga masing-masing manusia saling
berinteraksi dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dalam
perkembangannya, pola hidup menetap telah membuat hubungan sosial masyarakat
terjalin dan ternegosiasi dengan baik. Dalam perkumpulan masyarakat yang
masih sederhana biasanya terdapat seorang pemimpin yang disebut kepala suku, sosok
kepala suku merupakan orang yang sangat dipercya dan ditaati untuk memimpin
sebuah
Orang-orang Indonesia zaman
neolithikum membentuk masyarakat-masyarakat dengan pondok-pondok mereka
berbentuk persegi siku-siku dan didirikan atas tiang-tiang kayu, dinding-dindingnya
diberi hiasan dekoratif yang indah-indah. Walaupun alat-alat mereka masih
dibuat daripada batu, tetapi alat-alat itu dibuat dengan halus, bahkan juga
sudah dipoles pada kedua belah mukanya.
C.
Kehidupan
ekonomi
Pada masa
kehidupan bercocok tanam, kebutuhan hidup masyarakat semakin bertambah, namun
tidak ada satu anggota masyarakat pun yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan
hidupnya sendiri. Oleh karena itu mereka menjalin hubungan yang lebih erat lagi
dengan sesama anggota masyrakat, mereka juga menjalin hubungan dengan
masyarakat yang berbeda diluar daerah tempat tinggalnya. Pada saat menunggu waktu antara
musim tanam hingga datangnya musim panen. masyarakat pada zaman ini mulai
mengenal sistem barter dimana terjadi pertukaran barang untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Misalnya masyarakat yang berada di daerah pengunungan
menjalin hubungan dengan masyarakat yang berada di daerah pantai. Masyarakat
yang berada di daerah pengunungan membutuhkan hasil yang diperoleh dari pantai
seperti garam, ikan laut, dan lain-lain, sedang masyarakat yang berada didaerah
pantai membutuhkan hasil-hasil pengunungan berupa berbagai macam hasil bumi
yaitu beras, buah-buahan, sayur-sayurandan lain-lain. Dengan kenyataan seperti
ini, dalam rangka memenuhi kebutuhannya masing-masing diadakan pertukaran
barang dengan barang (sistem barter). Pertukaran barang dengan barang ini
menjadi awal munculnya sistem perdagangan atau sistem perekonomian dalam
masyarakat.
D.
Kepercayaan
Masyarakat
Perkembangan
sistem kepercayaan masyarakat pada masa kehidupan bercocok tanam dan menetap,
merupakan kelanjutan kepercayaan yang telah muncul pada masa kehidupan
masyarakat berburu dan mengumpulkan makanan. Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan kepercayaan baru
sebatas adanya penguburan.
Pada masa
kehidupan bercocok tanam kepercayaan masyarakat semakin bertambah, bahkan
masyarakat juga telah mempunyai konsep tentang apa yang terjadi dengan seorang
yang telah meninggal. Mereka percaya bahwa orang-orang yang meninggal rohnya
pergi kesuatu tempat yang tidak jauh dari tempat tinggalnya atau roh orang yang
meninggal itu tetap berada disekitar wilayah tempat tinggalnya, sehingga
sewaktu-waktu dapat dipanggil untuk dimintai bantuannya dalam kasus tertentu
seperti menanggulani wabah penyakit atau mengusir pasukan-pasukan musuh yang
ingin menyerang wilayah tempat tinggalnya.
Inti
kepercayaan ini berkembang dari zaman ke zaman. Penghormatan dan pemujaan
kepada roh nenek moyang merupakan suatu kepercayan yang berkembang diseluruh
dunia. Kepercayaan masyarakat diwujudkan
dalam berbagai upacara keagamaan, persembahan kepada dewa, dan upacara
penguburan mayat yang dibekali dengan benda milik pribadi ke kuburnya. Bekal
tersebut adalah bermacam-macam barang keperluan sehari-hari seperti perhiasan,
periuk, dan lain-lain dengan tujuan agar perjalanan si mati ke alam arwah
terjalin keselamatannya.
Untuk
menelusuri kepercayaan masyarakat Indonesia dari masa kehidupan bercocok tanam,
para ahli mengadakan penelitian pada berbagai bangunan Megalitikum atau kuburan
manusia yang berasal dari masa itu. Dari hasil penelitian itu, para ahli
sejarah berhasil mendapatkan gambaran mengenai berbagai kebiasaan yang
berhubungan dengan kepercayaan masyarakat pada masa itu, bahkan hingga sekarang
ini, kita masih dapat melihat upacara-upacara tradisi Megalitikum dari berapa
suku bangsa di Indonesia. Pada
zaman ini biasanya manusia menyembah matahari, batu dan lain-lain. Sampai
sekarang ada beberapa kalangan yang mempercayai kepercayaan animisme seperti
zaman neolithikum, contohnya adalah suku Nias, di sebuah pulau yang terletak di
barat Sumatera mempercayai bahawa seekor tikus yang keluar masuk dari rumah
merupakan roh daripada wanita yang telah mati beranak. Roh-roh orang yang telah
mati juga boleh memasuki tubuh babi atau harimau dan dipercayai akan menuntut
bela ke atas orang yang menjadi musuh simati pada masa hidupnya.
Berdasarkan
kepercayaan itu, sesorang kepala suku memiliki kekuasaan dan tanggung jawab
penuh terhadap kelompok sukunya, seorang kepala suku dapat mengatur dan
melindungi kelompok sukunya dari segala bentuk ancaman, seperti ancaman
dari binatang buas, ancaman dari kelompok laiinya, ancaman dari wabah penyakit
dan sebagainya.
E.
Adat Istiadat
Pada masa
Neolithikum budaya manusia telah berkembang dengan pesat. Berbagai macam
pengetahuan telah dikuasai seperti pengetahuan tentang perbintangan
pranatamangsa (cara menentukan musim berdasarkan perbintangan atau tanda-tanda
lainnya), pelayaran, kalender (menentukan hari baik atau buruk).
Terdapat 2
macam penguburan, yaitu penguburan primer dan sekunder. Penguburan langsung
atau disebut juga penguburan primer dimana mayat dikubur langsung ke dalam
tanah atau dimasukkan ke dalam tempayan secara utuh, sedangkan sistem
penguburan yang disebut cara penguburan sekunder, yaitu setelah mayat dikubur
beberapa lama (atau diletakkan si sebuah padang) lalu tulang belulangnya
dipilih dan dengan upacara besar-besaran dikuburkan. Ada pula suatu adat dimana
tulang belulang manusia dimasukkan kedalam tempayan lalu di kubur, sebagai mana
terlihat dalam penggalian di Mololo (Sumba Timur) Merak (Jawa Barat), Gilimanuk
(Bali).
F.
Teknologi dan Hasil Budaya
Perkembangan
kebudayaan pada masa bercocok tanam semakin bertambah pesat, karena manusia
mulai dapat mengembangkan dirinya untuk menciptakan kebudayaan yang lebih baik.
Peninggalan-peninggalan kebudayaan manusia pada masa kehidupan bercocok tanam
semakin banyak beragam, baik yang terbuat dari tanah liat, batu, maupun tulang.
Hasil-hasil
kebudayaan masyarakat pada masa kehidupan bercocok tanam adalah sebagai
berikut:
1. Kapak Persegi
Pemberian nama kapak persegi
didasarkan pada bentuknya. Bentuk kapak ini yaitu batu yang garis irisannya
melintangnya memperlihatkan sebuah bidang segi panjang atau ada juga yang
berbentuk trapesium. Jenis lain yang termasuk dalam katagori kapak persegi
seperti beliung atau pacul untuk yang ukuran besar, dan untuk ukuran yang kecil
bernama tarah. Tarah berfungsi untuk mengerjakan kayu. Pada alat-alat tersebut
terdapat tangkai yang diikatkan. Orang yang pertama memberikan nama Kapak
Persegi yaitu von Heine Geldern.
Daerah-daerah tempat ditemukannya
kapak persegi yaitu di Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi,
dan Kalimantan. Batu api dan chalcedon merupakan bahan yang
dipakai untuk membuat kapak persegi. Kapak persegi kemungkinan sudah menjadi
barang yang diperjualbelikan. Alat ini dibuat oleh sebuah pabrik tertentu di
suatu tempat kemudian di bawa keluar daerah untuk diperjualbelikan. Sistem
jual-belinya masih sangat sederhana, yaitu sistem barter. Adanya sistem barter
tersebut, kapak persegi banyak ditemukan di tempat-tempat yang tidak banyak ada bahan bakunya, yaitu batu
api.
2. Kapak Lonjong
Kapak lonjong
dengan garis penampangnya memperlihatkan sebuah bidang yang berbentuk lonjong,
kapak ini ada yang berukuran besar dan kecil. Pada umumnya kapak lonjong
terbuat dari batu kali yang berwarna kehitam-hitaman, cara pembuatannya adalah
dengan diumpan sampai halus. Namun sampai sekalarang belum berhasil ditemukan
oleh para ahli jenis kapak lonjong yang terbuat dari batu indah dan batu semi
pemata. Kapak lonjong ini ditemukan oleh para ahli sejarah di daerah Maluku,
Papua, dan sebagaian daerah Sulawesi Utara, sedangkan diluar wilayah Indonesia
kapak lonjong ditemukan di kepulauan Filipina, Taiwan, dan Cina.
Pemberian nama kapak lonjong
berdasarkan pada bentuk. Bentuk alat ini yaitu garis penampang memperlihatkan
sebuah bidang yang berbentuk lonjong. Sedangkan bentuk kapaknya sendiri bundar
telor. Ujungnya yang agak lancip ditempatkan di tangkai dan di ujung lainnya
yang bulat diasah hingga tajam. Ada dua ukuran kapak lonjong yaitu ukuran yang
besar disebut dengan walzeinbeil dan kleinbel untuk
ukuran kecil. Kapak lonjong masuk ke dalam kebudayaan Neolitihikum Papua,
karena jenis kapak ini banyak ditemukan di Papua (Irian). Kapak ini ditemukan
pula di daerah-daerah lainnya, yaitu di Seram, Gorong, Tanimbar, Leti,
Minahasa, dan Serawak.
Selain di Indonesia, jenis kapak
lonjong ditemukan pula di negara lain, seperti Walzeinbeil di temukan di Cina
dan Jepang, daerah Assam dan Birma Utara. Penemuan kapak lonjong dapat
memberikan petunjuk mengenai penyebarannya, yaitu dari timur mulai dari daratan
Asia ke Jepang, Formosa, Filipina, Minahasa, terus ke timur. Penemuan-penemuan
di Formosa dan Filipina memperkuat pendapat ini. Dari Irian daerah persebaran
meluas sampai ke Melanesia.
3. Mata Panah
mata panah merupakan salah satu dari perlrngkapan berburu
maupun menangkap ikan. Mata panah untuk menangkap ikan berbeda dengan mata
panah untuk berburu. Mata panah untuk menangkap ikan dibuat bergerigi seperti
mata gerigi dan umumnya dibuat dari tulang. Sisi-sisi mata panah dari zaman
kehidupan masyarakat bercocok tanam berhasil ditemukan didalam goa-goa yang ada
di pinggir sungai. Kemungkinan juga ada mata panah yang dibuat dari kayu
seperti yang masih digunakan oleh para penduduk asli papua.
4. Gerabah gerabah
terbuat dari tanah liat di bakar.
Alat-alat itu
digunakan sebagai tempat untuk menyimpan benda-benda perhiasan. Gerabah dihias
dengan beraneka ragam hiasan. Menghias gerabah lebih mudah dubandingkan dengan
menghias benda-benda lainnya. Sehingga gerabah selalu menjadi alat untuk mencurahkan
rasa seni, baik melalui hiasan atau melalui pemberian bentuk.
Penemuan gerabah merupakan suatu
bukti adanya kemampuan manusia mengolah makanan. Hal ini dikarenakan fungsi
gerabah di antaranya sebagai tempat meyimpan makanan. Gerabah merupakan suatu
alat yang terbuat dari tanah liat kemudian dibakar. Dalam perkembangan berikut,
gerabah tidak hanya berfungsi sebagai penyimpan makanan, tetapi semakin
beragam, bahkan menjadi barang yang memiliki nilai seni.
Cara pembuatan gerabah mengalami
perkembangan dari mulai bentuk yang sederhana hingga ke bentuk yang kompleks.
Dalam bentuk yang sederhana dibuat dengan tidak menggunakan roda. Bahan yang
digunakan berupa campuran tanah liat dan langsung diberi bentuk dengan
menggunakan tangan. Teknik pembuatan semakin berkembang, pencetakan menggunakan
roda, agar dapat memperoleh bentuk yang lebih baik bahkan lebih indah. Dalam
perkembangan ini, pencetakan sudah memiliki nilai seni. Sisi gerabah mulai
dihias dengan pola hias dan warna. Hiasan yang ada di antaranya hiasan anyaman.
Untuk membuat hiasan yang demikian yaitu dengan cara menempelkan agak keras
selembar anyaman atau tenunan pada gerabah yang masih basah sebelum gerabah
dijemur. Kemudian gerabah dijemur sampai kering dan dibakar. Berdasarkan bukti
ini, para ahli menyimpulkan bahwa pada masa ini manusia sudah mengenal bercocok
tanam dan orang mulai dapat menenun.
5. Perhiasan
Pada masa kehidupan masyarakat bercocok tanam telah
dikenal berbagai bentuk perhiasan. Bahan dasar pembuatan perhiasan diambil dari
bahan-bahan yang ada di sekitar lingkungan alam tempat tinggalnya. Bahan-bahan
yang digunakan untuk membuat perhiasan seperti tanah liat, batu kalsedon,
yaspur dan agat. Dari bahan-bahan yang itu masyarakat membuat berbagai bentuk
perhiasan yang diinginkannya seperti kalung, gelang, dan lain-lain. Namun
demikian, sangat sulit untuk dapat menemukan perhiasan yang terbuat dari tanah
liat yang berasal dari masa lalu karena perhiasan-perhiasan dari tanah liat
telah menyatu kembali dengan tanah.
Hiasan
sudah dikenal oleh manusia pada masa bercocok tanam. Perhiasan dibuat dengan
bahan-bahan yang mudah diperoleh dari lingkungan sekitar, seperti hiasan kulit
kerang dari sekitar pantai. Hiasan lainnya ada yang terbuat dari yang dibuat
dari tanah liat seperti gerabah, dan ada pula yang terbuat dari batu. seperti
gelang, kalung, dan beliung.
Pembuatan hiasan dari batu dilakukan
dengan cara, pertama batu dipukul-pukul sampai menjadi bentuk gepeng. Setelah
itu kedua sisi yang rata dicekungkan dengan cara dipukul-pukul pula, kedua
cekungan itu bertemu menjadi lobang. Untuk menghaluskannya, kemudian
digosok-gosok dan diasah sehingga membentuk suatu gelang. Bentuk gelang
tersebut dari dalam halus rata dan dari luar lengkung sisinya. Selain dipukul,
cara lain untuk membuat lobang pada gelang yaitu dengan cara menggunakan gurdi.
Batu yang bulat gepeng itu digurdi dari kedua belah sisi dengan sebuah gurdi
dari bambu. Setelah diberi air dan pasir, bambu ini dengan seutas tali dan
sebilah bambu lainnya diputar di atas muka batu sampai berlubang.
6. Pakaian Manusia Purba pada Masa
Bercocok Tanam
Kebudayaan lainnya yang dimiliki
oleh manusia pada masa bercocok tanam diperkirakan mereka telah memakai
pakaian. Bahan yang digunakan untuk pakaian berasal dari kulit kayu. Pekerjaan
membuat pakaian ini merupakan pekerjaan kaum perempuan. Pekerjaan tersebut
disertai pula berbagai larangan atau pantangan yang harus di taati.
Daerah tempat ditemukan bukti adanya
pakaian adalah di Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan beberapa tempat lainnya.
Pada daerah-daerah tersebut ditemukan alat pemukul kulit kayu. Kulit kayu yang
sudah dipukul-pukul menjadi bahan pakaian yang akan dibuat. Dari kulit kayu ini
dihasilkan serat-serat yang kemudian ditenun.
saya boleh minta referensi buku nya?
ReplyDelete